Dunia etika adalah dunia filsafat, nilai, dan moral. Dunia bisnis adalah dunia keputusan dan
tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan
bisnis adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang telah diputuskan. Hakikat moral adalah tidak
merugikan orang lain. Artinya moral senantiasa bersifat positif atau mencari kebaikan. Dengan
demikian sikap dan perbuatan dalam konteks etika bisnis yang dilakukan oleh semua yang terlibat,
akan menghasilkan sesuatu yang baik atau positif, bagi yang menjalankannya maupun bagi yang
lain. Sikap atau perbuatan seperti itu dengan demikian tidak akan menghasilkan situasi "win-lose",
tetapi akan menghasilkan situasi "win-win".
Apabila moral adalah nilai yang mendorong seseorang untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, maka etika adalah rambu-rambu atau patokan yang ditentukan sendiri oleh
pelaku atau kelompoknya. Karena moral bersumber pada budaya masyarakat, maka moral dunia
usaha nasional tidak bisa berbeda dengan moral bangsanya. Moral pembangunan haruslah juga
menjadi moral bisnis pengusaha Indonesia.
Sebagai suatu Lembaga yang baru berdiri, LSPEU Indonesia tentu tidak terlepas dari
berbagai tantangan dan kendala dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensinya. Pada
kesempatan ini saya ingin sedikit memberikan sumbangan pemikiran bagi arah kegiatan Lembaga
ini dalam melaksanakan fungsi pelayanannya kepada masyarakat luas.
Pertama , menurut hemat saya, inti daripada etika bisnis yang pantas dikembangkan di
tanah air kita adalah pengendalian diri, sesuai dengan falsafah Pancasila yang kita miliki. Kita
semua menyadari bahwa keuntungan adalah motivasi bisnis. Yang ingin diatur dalam etika bisnis
adalah bagaimana memperoleh keuntungan itu. Keuntungan yang dicapai dengan cara yang
curang, secara tidak adil, dan bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan martabat kemanusiaaan,
tidaklah etis.
Etika bisnis juga "membatasi" besarnya keuntungan, sebatas yang tidak merugikan
masyarakatnya. Kewajaran merupakan ukuran yang relatif, tetapi harus senantiasa diupayakan.
Etika bisnis bisa mengatur bagaimana keuntungan digunakan. Meskipun keuntungan merupakan
hak, tetapi pengunaannya harus pula memperhatikan kebutuhan dan keadaan masyarakat
sekitarnya.
Kedua, kepekaan terhadap keadaan dan lingkungan masyarakat. Etika bisnis harus
mengandung pula sikap solidaritas sosial. Misalnya, dalam keadaan langka, harga suatu barang
dapat ditetapkan sesuka hati oleh mereka yang menguasai sisi penawaran. Disini penghayatan dan
kepekaan akan tanggung jawab dan solidaritas sosial harus menjadi rambu-rambu.
Ketiga, mengembangkan suasana persaingan yang sehat. Persaingan adalah "adrenalin"-
nya bisnis. Ia menghasilkan dunia usaha yang dinamis dan terus berusaha menghasilkan yang
terbaik. Namun persaingan haruslah adil dengan aturan-aturan yang jelas dan berlaku bagi semua
orang. Memenangkan persaingan bukan berarti mematikan saingan atau pesaing. Dengan
demikian persaingan harus diatur agar selalu ada, dan dilakukan di antara kekuatan-kekuatan yang
kurang lebih seimbang.
Keempat, yang besar membantu yang kecil. Praktek bisnis yang etis tidak menghendaki
yang besar tumbuh dengan mematikan (at the cost of) yang kecil. Usaha besar dalam proses
pertumbuhannya harus pula "membawa-tumbuh" usaha-usaha kecil. Ada hal-hal yang lebih tepat
dilakukan oleh usaha skala kecil. Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa usaha besar,
menengah, dan kecil harus saling menunjang, sehingga terbentuk struktur dunia usaha yang kukuh.
Kelima, bisnis tidak boleh hanya memperhatikan masa kini atau kenikmatan saat ini. Sikap
"aji mumpung" bertentangan dengan etika bisnis. Dunia usaha harus pula memperhatikan masa
depan bangsa dan mewariskan keadaan yang lebih baik bagi generasi yang akan datang.
Kesinambungan harus merupakan bagian dari etika bisnis dunia usaha Indonesia. Dalam kaitan
ini, lingkungan alam tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan jangka pendek atau menarik keuntungan yang sebesar-besarnya. Bisnis yang baik harus selalu memperhatikan keberlanjutan
(sustainability ) alam yang mendukungnya.
Keenam, memelihara jatidiri, jiwa kebangsaan dan jiwa patriotik. Kita menyadari bahwa
globalisasi ekonomi akan membuat kegiatan bisnis menjadi berkembang tidak mengenal tapal
batas. Struktur usaha tidak bisa lagi dibatasi oleh nasionalitas. Proses produksi akan terdiri dari
rangkaian simpul-simpul yang tersebar di berbagai negara. Pemilikan usaha juga akan semakin
mengglobal. Bahkan WTO menghendaki dihapuskannya perbedaan antara asing dan domestik
dalam perlakuan terhadap investasi dan perdagangan.
Karena itu kita tidak boleh hanyut dan tidak memandang penting lagi hakikat kebangsaan.
Bisnis bisa internasional, tetapi setiap orang pada dasarnya tidak bisa melepaskan diri dari ikatan
kewarganegaraannya. Oleh karena itu dalam keadaan bagaimanapun pelaku bisnis warga negara
Indonesia, tidak boleh kehilangan rasa kebangsaannya dan jatidirinya sebagai orang Indonesia. Ia
harus memiliki kepedulian dan komitmen untuk turut menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi bangsanya melalui kiprahnya dalam bisnis. Jiwa patriotik harus selalu menyala di dalam
diri insan bisnis Indonesia, betapapun "internasional"nya wawasan dan kegiatan bisnis yang
dilakukannya. Ia tetap harus memperhatikan dan mendahulukan kepentingan bangsanya, yaitu
bangsa yang telah membesarkan bisnis dan dirinya.
Etika usaha yang didambakan oleh kita semua tentu tidak akan dengan sendirinya
dipraktikkan oleh kalangan dunia usaha tanpa adanya suatu "aturan main" yang jelas bagi dunia
usaha itu sendiri.
Etika bisnis memiliki padanan kata yang bervariasi, yaitu (Bertens, 2000):
1. Bahasa Belanda à bedrijfsethiek (etika perusahaan).
2. Bahasa Jerman à Unternehmensethik (etika usaha).
3. Bahasa Inggris à corporate ethics (etika korporasi).
Analisis Arti Etika
Untuk menganalisis arti-arti etika, dibedakan menjadi dua jenis etika (Bertens, 2000):
1. Etika sebagai Praktis
a. Nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan.
b. Apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
2. Etika sebagai Refleksi
a. Pemikiran moral à berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
b. Berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai objeknya.
c. Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang.
d. Dapat dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar